Saturday 21 November 2015

Tugas 2 KMO (Komunitas Menulis Online)

MIND MAPPING DAN OUTLINE NOVEL MINI



A. Mind Mapping






B. Outline Novel :

Judul : Surya (bukan) Untuk Rembulan
Genre : Teenlit
Sasaran Pembaca : Remaja anak Sekolah Menengah – Mahasiswa
Jumlah Halaman : 200
Waktu Penulisan : 2 bulan (Januari-Februari 2016)


I. Sinopsis

Sinopsis : Kisah percintaan remaja selalu menarik untuk dituliskan, seperti tak pernah habis dikupas.  Ada yang berakhir bahagia seperti kisah dongeng, pun tak jarang menguras air mata. Hal konyol pun kerap terjadi ketika seseorang sedang jatuh cinta. Seperti kata pepatah, perasaan cinta tak pernah berbanding lurus dengan logika.

Kanti, nama lengkapnya Candrakanti. Perempuan 22 tahun ini memiliki kehidupan yang hampir sempurna.  Keluarga , pekerjaan, bahkan kekasih yang siap melamarnya. Semua yang dimiliki Kanti seringkali membuat iri teman-temannya.

Kehidupan Kanti sejauh ini berjalan baik,  hingga suatu  saat ia tanpa sengaja bertemu dengan Thama, teman khayalan dalam masa lalunya. Seseorang yang beberapa tahun silam selalu ada, menemani ketika kesepian. Melindungi saat terancam. Berbagai hal dilewati bersama. Selalu berbagi cerita. Thama menjadi buku diary hidup yang bisa ditulis kapan seja ketika Kanti membutuhkan, begitu juga sebaliknya.  Kegemaran yang sama dalam bidang music membuat mereka berdua memiliki banyak hal untuk dibicarakan.  Makin lama makin dekat, namun tanpa terikat. Tidak ada ungkapan cinta, meski mungkin dalam hati saling merasa. Kanti menemukan kenyamanan ketika ia berbicara dengan Thama. Dan bagi Thama, Kanti adalah satu-satunya wanita yang mampu meluluhkan sifat kerasnya. Begitulah mereka.

Tapi itu dulu. Karena satu hal, Kanti dan Thama tak lagi berkomunikasi. Waktu berlalu, mereka menjalani kehidupan masing-masing. Dan saat Kanti sudah akan memantapkan hati untuk menjalani hubungan yang lebih serius, ia justru kembali dipertemukan dengan Thama. Apa yang akan dilakukan oleh Kanti?  Kembali larut dalam cerita bersama Thama atau menjemput masa depan dengan kekasihnya?

II. Isi Novel :

BAB 1 (Pertemuan)
·         Menceritakan tentang pertemuan antara Kanti, Thama, dan juga Rama yang tanpa disengaja .Kanti dan Thama lebih dulu kenal. Sedangkan Rama hanya mengamati Kanti dari Jauh namun sudah mulai memperhatikan. Rama mencari tahu segala sesuatu tentang Kanti. Di cerita sudah dibahas sekilas tentang kehidupan Kanti baik itu dirumah maupun di kampus.

BAB 2 (Nama yang aneh)
·         Kanti dan Thama saling memperkenalkan diri. Menceritakan hobi dan hal-hal yang sering dilakukan oleh masing-masing. Berdebat tentang apa saja yang bisa diperdebatkan. Merasa saling cocok.  Menceritakan kedekatan antara Kanti dan Thama yang mulai terjalin meskipun hanya sekedar lewat telepon. Sampai akhirnya mereka bertemu. Hubungan mereka tak lebih dari sekedar teman.

BAB 3 (Rumah kaca)
·         Di bab ini digambarkan tentang proses bagaimana Kanti menjadi semakin dekat dengan Thama. Diselingi dengan kehidupan pribadi Kanti. Di sisi lain Rama masih saja terus mencari informasi tentang Kanti.

BAB 4 (Aku dan Kamu)
·          Kanti mulai merasakan kenyamanan berada di sisi Thama. Mereka menjalani hubungan tanpa status. Merasa saling memiliki dan saling member perhatian. Thama pun demikian. Tidak ada orang lain yang lebih mengerti dirinya selain Kanti.

BAB 5 (Jeda)
·           Bab ini menceritakan tentang Kanti dan Thama yang mulai jarang berkomunikasi akibat kesibukan masing-masing.  2 Tahun berlalu, lama-kalamaan mereka benar-benar lepas kontak. Pada saat inilah Rama muncul. Menyatakan perasaannya yang terpendam selama ini.  Dan Kanti yang masih sendiri semenjak berhenti berhubungan dengan Thama bingung bagaimana ia harus bersikap kepada Rama, Kanti tidak ingin mencari pelarian. Ia meminta untuk diberi waktu. Dan mereka pun mulai menjalani hari-hari berdua. Rama adalah orang yang romantis. Ia rela melakukan apapun untuk Kanti. Kanti pun luluh. Rama bahagia karena akhirnya orang yang dicintainya selama ini menerima cintanya.

BAB 6 (Awal bukan akhir)
·         Sekilas kehidupan pribadi muncul ditayangkan. Yaitu saat  Kanti Wisuda . Muncul gambaran tentang kebersamaan Kanti dengan teman-temannya. Acara wisuda Kanti dihadiri oleh keluarga dan tentu saja Rama.

BAB 7  (Dihantui Kenangan)
·         Kenangan Kanti dan Thama diceritakan di bab ini, tentang lagu-lagu dan tempat tempat yang sering dikungjungi. Ini bentuknya berupa mimpi. Apa yang pernah mereka jalani dulu muncul dalam mimpi Kanti.

BAB 8 (Semua Tak Sama)
·         Kanti merasakan hubungannya dengan Rama kian hambar. Meskipun Rama menghujaninya dengan begitu banyak cinta. Thama tak tergantikan.

BAB 9 (Terbaik Untukku)

·       Kanti memutuskan untuk memilih yang terbaik bagi dirinya. Kanti hanya ingin jujur terhadap dirinya sendiri. 

Sunday 15 November 2015

Mengapa Harus Menulis?

Pertama kali dihadapkan pada pertanyaan ini, jujur saya tidak tahu harus bagaimana menjawabnya. Bisa dibilang saya terlambat menyadari ketertarikan saya di bidang tulis-menulis. Memang, sejak duduk di bangku SMP saya sudah sering menulis, puisi, cerpen. Namun hanya sebatas hobi, tidak memandang kegiatan menulis sebagai salah satu daftar impian dan cita-cita saya di masa depan.

Seiring berjalannya waktu, saya menjalani hari-hari dengan berbagai rutinitas yang membuat saya mulai kehilangan waktu untuk mengabadikan setiap moment dalam bentuk tulisan.  Saya tidak lagi memiliki prioritas untuk sekedar menyapa buku harian.

Sampai suatu ketika, saya menemukan catatan lama tentang sebuah peristiwa. Dari situ saya sadar, bahwa ada hal-hal yang tak dapat selalu terekam dalam memori kita. Dan tulisan mampu menyelamatkan itu semua dari terhapusnya kenangan oleh waktu yang terus berjalan.

Dulu saya terbiasa mencatat segala sesuatu yang saya alami, perjalanan kemanapun saya pergi, dan apapun  yang telah saya lewati. Tergadang dengan gambar, semua menjadi lebih mudah untuk disimpan. Rupanya kebiasaan ini telah lama sekali saya lakukan. Dan kali ini saya sadar, saya menemukan kembali diri saya yang hilang.  Saya ingin menulis untuk merekam apa yang tak mampu disimpan oleh ingatan.
Ada begitu banyak hal yang kita dapatkan melalui tulisan,
Melalui tulisan, kita bisa merekam jejak perjalanan untuk dijadikan pelajaran kembali di masa mendatang. Berbagai hikmah bisa kita petik dari kisah-kisah yang telah dilewati.

Melalui tulisan, kita bisa berbagi inspirasi kepada orang lain tentang semangat dan kegigihan dalam bekerja keras untuk dapat meraih kesuksesan.

Melalui tulisan kita bisa menyebarkan informasi dan wawasan tentang bidang ilmu yang kita miliki masing-masing, agar semakin banyak orang yang mengetahui, makin banyak orang tercerahkan pikirannya terhadap suatu hal.

Melalui tulisan kita dapat mengajak lebih banyak orang untuk melakukan kebaikan.

Melalui tulisan kita dapat mengubah masa depan menjadi lebih baik.  

Karena itu, tak sedikit orang yang mencoba mengubah sesuatu melalui tulisan. Kita semua tahu betapa sebuah tulisan dapat begitu berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Tak mengapa, selama perubahan itu positif menuju kearah yang lebih baik.

Yang mengkhawatirkan adalah munculnya tulisan untuk mengajak orang lain kepada sesuatu yang lebih buruk. Misalnya tulisan yang ditujukan kepada remaja-remaja, yang isinya dapat merusak pikiran generasi penerus bangsa ini. Atau tulisan yang berisi adu domba, isu politik yang saling menjatuhkan, tulisan yang penuh fitnah tanpa ada sumber yang jelas, tulisan yang isinya dapat menimbulkan perpecahan antar suku, ras, agama, dan lain sebagainya.

Saya sangat prihatin dengan adanya tulisan semacam ini. Karena tidak dapat dipungkiri, dewasa ini kita dapat dengan mudah menemukannya di berbagai media massa baik cetak maupun elektronik.

Untuk itulah saya berharap, dapat memberikan kontribusi dalam bentuk tulisan yang isinya mencerahkan, meski tidak banyak. Saya ingin menulis untuk berbagi inspirasi dan motivasi di lingkungan sekitar saya yang mana sudah mulai banyak yang putus asa tentang sesuatu yang sesungguhnya dapat kita lakukan untuk perubahan.

Saya ingin membagikan apa yang saya miliki, meski tak selamanya dalam bentuk materi. Ilmu yang saya punya, ide-ide yang dapat kita lakukan bersama untuk membangun dan memajukan kesejahteraan lingkungan di sekitar saya.

Saya ingin menumbuhkan imajinasi anak-anak di sekeliling saya, yang sudah mulai hilang digerus jaman karena mereka saat ini lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain dengan barang elektronik mereka daripada berlarian di halaman atau bermain laying-layang di tanah lapang.

Saya ingin menulis untuk bercerita bahwa kehidupan anak-anak di masa lalu begitu menyenangkan dengan berbagai permainan tradisional yang saat ini sudah tidak pernah lagi terdengar nyanyiannya.

Saya ingin menulis untuk memberitahukan kepada anak-anak yang terpaksa menghadapi perceraian kedua orangtuanya bahwa mereka mampu bangkit dan menghapus pandangan negative masyarakat tentang korban brokenhome yang selama ini melekat. Menggantinya dengan segudang prestasi.

Saya ingin memberitahukan kepada dunia bahwa anak-anak dengan keterbatasan fisik, bukan berarti terbatas impiannya. Mereka mampu melakukan hal yang jauh lebih baik dari apa yang kita lakukan. Mereka hanya butuh kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka bisa.

Saya ingin menceritakan betapa nikmat hidup di desa dengan segala pernak-perniknya, tempat-tempat menarik yang harus dikunjungi, kuliner yang wajib untuk didatangi, kearifan budaya lokal yang masih terjaga hingga kini.

Sungguh, baru kali ini rasanya saya mampu menjawab pertanyaan singkat tersebut dengan panjang lebar. Sebelumnya tak pernah terpikirkan sampai sejauh ini. Pertanyaan itu membuat saya mempunyai mimpi, tak hanya jadi penulis, namun lebih dari itu, mampu menjadi inspirasi bagi orang lain. Saya ingin bisa menjadi seseorang yang bermanfaat bagi siapapun yang ada di sekitar saya. Memberikan kebermanfaatan dimanapun saya berada.

Pada intinya adalah, saya ingin menulis untuk membuktikan kepada diri sendiri bahwa saya bisa, mampu untuk menjadi penulis. Karena saya percaya, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Jika kita punya kemauan yang kuat, akan selalu ada jalan.

Kita tidak akan pernah tahu sampai kita mencobanya. Yang perlu kita lakukan adalah membulatkan tekad, tekad, tekad. Menulis bukanlah bakat, namun keterampilan yang dapat dilatih, dan cara melatihnya adalah dengan menulis setiap hari.

Inilah yang perlu saya lakukan sekarang. Saya tidak akan menyerah. Seberat apapun, sesulit apapun, saya akan berusaha mewujudkan mimpi saya.

Ya, saya menulis untuk membuktikan kepada diri sendiri bahwa saya bisa menjadi penulis.



Sunday 1 November 2015

Guntur dan Kampanye Kecilnya


Guntur berlari mengejar bus di depan halte Jaya, sial. Ia tertinggal. Bagaimana tak tertinggal, sopir bus berhenti di tengah ruas jalan, tidak menepi sehingga tak sedikit calon penumpang pupus harapan untuk bisa segera beranjak dari halte.

Tugas yang entah berapa banyak jumlahnya memaksa Guntur begadang setiap malam. Seminggu yang lalu ia masih diselamatkan oleh vespa bututnya meski bangun kesiangan sebelum akhirnya mogok dan hanya bisa parkir di depan kos-kosan sempit yang dihuninya bersama 3 orang lainnya.  

Pagi ini cukup terik. Entah mengapa mentari bersinar lebih ganas dari biasanya. Seolah hari ini segala sesuatu sedang tidak ingin bersahabat dengan Guntur. Jarak kos dengan kampusnya tidak jauh memang, berjalan kaki pun bisa sampai dalam waktu 20 menit. Hanya saja hari ini ia harus pergi ke studio milik temannya untuk mengambil contoh gambar yang akan di presentasikan di depan dosen. “Matilah aku! Apa jadinya kalau Pak Roni sampai kampus lebih dulu?”, katanya dalam hati.
***
“Ini sudah ke-empat kalinya kamu bikin saya menunggu. Niat kuliah nggak sih?”, Pak Roni tampak sangar dengan nada suara tingginya yang khas, berteriak di depan Guntur.

Dari tampilan luarnya, Pak Roni memang terlihat killer, namun sebetulnya beliau adalah salah satu dosen favorit dengan cara mengajar yang unik, yang sangat jeli melihat kemampuan mahasiswanya. Wajar jika banyak mahasiswa hasil didikan beliau mampu meraih prestasi gemilang.

“Maaf, Pak. Emm.. anu , Pak, ada kesalahan teknis, motor saya rusak, terus, tadi mau naik bus dan ngga ada, eh.. ketinggalan Pak. Tapi semua tugas sudah saya selesaikan. Tinggal ambil gambarnya saja, Pak..” sambil tergagap Guntur memelas.

“Kamu ini, mahasiswa komunikasi kok bicaranya mbulet. Sudah, besok siapkan gambarmu. Saya sedang ada project dengan mahasiswa lainnya. Saya tahu kamu sebetulnya punya potensi. Kalau kamu masih mau ikut kelas saya, buktikan!”

“Mmm maksudnya, bagaimana Pak? Saya tidak mengerti.”

“Lihat perempatan jalan depan itu, lihat sepanjang jalan yang kamu lewati setiap hari. Apa yang bisa kamu lihat di situ? Ceritakan pada saya. Saya mau lihat apa yang akan kamu sampaikan. Besok! ”

Pak Roni berlalu begitu saja meninggalkan Guntur yang masih penuh dengan tanda tanya. Sebetulnya apa maksud Pak Roni. Ada apa di jalan? Kendaraan lah, apalagi. Sambil terus menggerutu, Guntur berjalan tanpa arah. Ia sedang payah, butuh sesuatu yang dingin untuk menyegarkan pikirannya. Sepertinya kantin pilihan tepat.

Hari ini cuaca sangat panas, sepanas otak Guntur yang dari pagi serasa direbus berjam-jam memikirkan perkataan Pak Roni. Sesampainya di kos, Guntur merebahkan punggungnya di atas kasur lantai dengan sprei warna biru bergambar bola. Sambil melihat ke atap ia membayangkan apa yang akan ia ceritakan pada Pak Roni esok. Ia jadi penasaran, sebetulnya project apa yang sedang dilakukan oleh Pak Roni.

Tiba-tiba Guntur teringat kejadian pagi tadi saat berusaha mengejar bus di halte. Ia ingat bagaimana sopir bus itu sama sekali tidak berniat menepi, hanya memperlambat laju busnya namun berhenti di tengah jalan. Kendaraan lain tentunya ikut terganggu. Ia jadi kesal dengan sopir bus.

“Hm… apakah semua sopir seperti itu?”, gumamnya. Lebih jauh, pertanyaan pertama yang ia pikirkan berujung pada pertanyaan lain.

“Bagaimana dengan pengendara yang lain, terutama pengguna sepeda motor yang dari dulu terkenal menjadi penyebab utama kecelakaan? Bagaimana sebetulnya kesadaran seseorang saat menggunakan jalan umum bersama?”

Segera Guntur beranjak dari tidurnya, ia menuju pojok kamar dengan tembok bertuliskan free Wi-fi hasil karyanya sendiri. Sudut ini oleh Guntur dianggap sebagai Wi-fi corner tempat ia biasa mengerjakan tugas.
Ia membuka laptopnya dan mulai menulis.

“Kepada, Pak Roni yang terhormat. Saya tidak tahu cerita seperti apa yang Bapak maksud dan saya tidak pandai berkata-kata. Saya hanya ingin menyampaikan apa yang saya lihat, semoga Bapak berkenan. Kemarin saat saya terlambat menyerahkan tugas kepada Bapak, saya baru saja berjuang mengejar bus yang sopirnya sangat tidak sopan. Banyak yang merasa dirugikan karena saat ia tidak menepi namun berhenti, kemacetan terjadi.

Setelah Bapak bertanya kepada saya apa yang dapat saya lihat di jalan, saya jadi berpikir bahwa seringkali saya mengalami kejadian tidak mengenakkan di jalan, akibat dari kecerobohan orang-orang yang tidak taat pada peraturan lalu lintas, terutama pengendara sepeda motor. Tidak hanya kemarin, namun kemarin lusa, satu minggu yang lalu, satu bulan yang lalu, rasanya setiap hari saya bertemu orang-orang aneh ini. Ya, saya menyebut mereka orang aneh karena mereka sebetulnya mengerti tata tertib berlalu lintas, tetapi entah kenapa malas melakukannya.

Pernah, saat lampu merah, saya yang sedang mengendarai vespa berhenti di baris paling depan. Belum sampai satu menit, terdengar suara klakson di belakang saya. Ia membunyikan klaksonnya berkali-kali tanda ingin diberi jalan lewat. Saya menoleh ke belakang. Sebuah motor matic hitam modifikasi. Pengendaranya adalah pemuda berkacamata hitam, terlihat seperti anak-anak orang kaya, namun miskin didikan. Ia tepat di belakang saya. Ia tidak mau menunggu, padahal ini lampu merah, baru lampu merah, belum yang lain. Saya tidak yakin  ia mau antre dalam hal apapun. Ia terus mengklakson saya, dan karena saya merasa benar, jadi saya tidak bergeming. Sepertinya ia kesal pada saya, saya biarkan saja. Yang penting saya taat peraturan. Sampai lampu hijau menyala baru saya melaju.

Kejadian lain pun saya alami masih terkait dengan si lampu merah ini, Pak. Lagi-lagi saat saya berada di barisan depan. Saat itu saya berada di depan pertigaan. Begitu lampu hijau menyala, otomatis saya melaju perlahan. Nah tiba-tiba dari arah kiri saya muncul sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Saya kaget dan masih berhasil ngerem mendadak. Saat arah saya sudah hijau, semestinya lampu dari jalan kiri saya merah dan seharusnya mereka berhenti. Apa susahnya orang-orang ini berhenti saat lampu merah? Saya sampai berkata dalam hati, saking kesalnya saya mbatin, kalian pas lampu merah males ngerem ya, lain kali hati-hati mas, mbak, siapa tahu lain kali saya juga males ngerem. Biar mereka tahu rasa. Tapi untungnya kok itu saya cuma mbatin Pak, coba kalau beneran, nanti saya ngga jadi nyerahin tugas ke Bapak dong. He he he.

Suatu ketika pernah juga saya alami, berpapasan dengan sepeda motor yang ditumpangi oleh 3 orang. 2 diantaranya anak-anak seusia Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan 1 lagi seumuran anak Sekolah Menengah Atas (SMA). Seharusnya di sekolah mereka sudah diajarkan tentang tata tertib lalu lintas. Ini mereka ngebut, tanpa helm pula. Melihat usianya, tentunya mereka belum memiliki Surat Ijin Mengemudi (SIM) karena masih berada di bawah umur. Ini yang jadi pertanyaan saya Pak, bagaimana bisa orang tua mereka membiarkan anak-anaknya berkendara liar di jalanan yang buas ini. Atau, mereka membawa kendaraan bermotor tanpa sepengetahuan orang tua? Setahu saya, anak-anak di bawah umur kebanyakan saat berkendara tidak memperhatikan keselamatan diri sendiri, apalagi orang lain. Mereka masih suka terbawa emosi, asal bisa melaju kencang sudah bangga. Tanpa sadar bahaya bisa mengancam nyawanya kapan saja.

Dan yang paling aneh lagi Bapak, saya pernah melihat seorang pria paruh baya mengendarai sepeda motornya dengan membawa sebuah gergaji mesin besar yang diletakkan melintang di bagian bawah depan sepeda motornya. Tepatnya diantara kakinya. Saya tidak habis pikir. Apakah ia sama sekali tidak sadar bahwa apa yang dilakukannya bisa saja membahayakan nyawa orang lain? Ketika ia menyalip pengemudi motor lain dan kurang dalam memperkirakan jaraknya, atau mengerem mendadak misalnya, bisa saja bagian mata gergajinya yang tajam melukai orang lain.

Sebetulnya ada banyak sekali Pak, yang saya lihat sepanjang melintasi jalan saat pulang pergi ke kampus. Mulai dari pengemudi motor yang ugal-ugalan, belok tanpa lampu sign, memotong jalan, melawan arus, menyeberang tanpa melihat kanan-kiri, yang semuanya ini dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain. 

Saya hanya berharap setiap orang, pengendara sepeda motor dan pengguna jalan lainnya memiliki kesadaran terhadap betapa pentingnya menjaga keselamatan dalam berkendara. Mungkin saya tidak dapat berbuat banyak, Pak. Namun saya mencoba memulainya dari diri sendiri. Selama ini saya berusaha menaati peraturan lalu lintas, dan selalu mengutamakan keselamatan saat berkendara. Inilah yang dapat saya ceritakan kepada Bapak, tentang apa yang saya lihat di jalanan. Semoga Bapak berkenan.”
          Guntur menutup layar laptop setelah menyimpan tulisannya tersebut. Ia kembali menjatuhkan badannya di atas kasur. Ia memang tidak mengerti apa yang akan di lakukan Pak Roni terhadap hasil tulisannya. Namun setelah menuliskan cerita berdasarkan permintaan dari Pak Roni, Guntur merasa mendapatkan satu pengajaran baru. Pak Roni mengajarkan secara tidak langsung kepadanya tentang pentingnya mengutamakan keselamatan dalam berkendara. Sesuatu yang sama sekali tidak terpikirkan olehnya selama ini.
            Guntur semakin semangat ingin selalu mengingatkan teman-teman terdekatnya agar memperhatikan tata tertib lalu lintas sehingga mereka pun aman dan nyaman dalam berkendara. Ia sadar, mungkin inilah bentuk kampanye yang dapat dilakukan oleh Guntur. Ia memulai perubahan itu dari tindakan kecil, dari diri sendiri. Mengajak setiap orang di sekitarnya untuk terus mengutamakan keselamatan dalam berkendara. Semakin banyak orang yang sadar untuk berkendara dengan aman dan tertib, maka angka kecelakaan lalu lintas dapat ditekan dan jumlah korban meninggal akibat kecelakaan dapat berkurang.
         Guntur menghela nafas panjang, mungkin ini yang dimaksud Pak Roni, sebagai mahasiswa Komunikasi, kemampuan lain yang perlu dimiliki adalah ia harus dapat mengambil makna yang ada dalam berbagai hal, peristiwa, untuk diambil hikmahnya kemudian menyampaikan isi pesan yang didapat tersebut agar bermanfaat bagi orang lain. Ia memejamkan matanya, menutup lelahnya dengan doa, semoga esok Pak Roni senang membaca tulisannya.

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen "Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan" #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com




Monday 31 August 2015

7 perempuan, 7 tahun perjalanan

Seberapa jauh pun kita melangkah, seberapa kuat pun kita mencoba menghindar, kepingan masa lalu akan dapat dengan mudah menarikkmu kembali. Entah itu dengan goresan tulisan, nada-nada yang kau dengar tanpa sengaja, atau potongan gambar yang terlintas di kepala. 

Malam ini, menjadi semacam reuni, antara jiwa-jiwa rapuh dan juga hati. Setelah sekian lama terbang seperti angin yang punya tujuan sendiri untuk berhembus kesana kemari. Malam ini kita dipertemukan kembali. Satu dari kita bercerita tentang perjalanannya dalam berkelana, Antara suka dan duka, aku hanya mampu menahan mataku yang berkaca-kaca. Seketika terlintas masa-masa penuh tawa yang pernah kita lewati bersama. Ada ruang tersisa untuk kita saling bercerita. 

Ada banyak hal yang masih tersimpan di kepala, namun rasanya terlalu sulit untuk dikata. Hanya percaya bahwa kita akan tetap saling menjaga satu sama lain. Jika satu di antara kita lelah, jangan enggan untuk melebarkan sayap dan menebar cahaya agar kita bisa senantiasa bersinar dan berpijar, bersama..


Untuk kalian, sahabat terbaikku.. 

Friday 21 August 2015

Kembali

"Ibu sudah meninggal 2 bulan yg lalu", 

Mulutmu yang terbungkam sejak 1jam kita duduk berhadapan akhirnya membuka suara, dan sontak membuatku terkejut namun tetap dalam diamku. Aku seperti tak mampu bergerak, nafasku sesak mendengar orang yg selama ini sudah kuanggap seperti ibuku sendiri telah berpulang. 

"Sakit?", 
"Iya, penyakitnya sering kambuh akhir-akhir ini. Mungkin memang sudah waktunya Tuhan memanggil. Aku tidak sanggup melihatnya terus menderita, itu lebih baik", 
"Aku...minta maaf Kris.." Kataku dengan suara tercekik. 
"Untuk apa? Kau tidak salah, tidak ada yang perlu dimaafkan"katamu. 

Entahlah aku seperti ingin berubah menjadi batu saja, aku tidak tau apa yang membuat otakku membeku. Perasaan campur aduk antara bahagia kau luangkan waktu sehingga kita bisa bertemu lagi setelah sekian lama,senang kau berbagi cerita tentang kehidupanmu sekarang, impianmu yang sedari dulu kau cita-citakan sudah tergapai, menjadi pilot sebuah maskapai penerbangan ternama, sedih mendengar kabar duka kematian ibumu, dan terlebih, aku sakit mengetahui kau sudah bukan dan tak akan bisa menjadi milikku lagi. 

Aku minta maaf, tentang keacuhanku padamu dulu, tentang bunga mawar yang kau berikan dan kuabaikan. Tentang kepergianku malam itu. Tentang semua yang tak bisa kuungkapkan hanya dalam waktu 1 jam. Tentu aku juga tak bisa dengan mudah menghapus kita dari ingatanku, tentangmu Krisna. Andai aku bisa kembali.. 

Sebatang Pohon Kelengkeng

"Sas, ayo cepat. Kita tidak ada waktu lagi, acaranya akan dimulai jam 9 pagi ini!" 
Saudara perempuanku yang cerewetnya minta ampun berteriak memanggilku. Kami akan pergi menghadiri wisuda Rean, si bungsu. 

"Sashi, kamu kenapa? Ayo!" 

Aku yang sedang berjalan seketika berhenti di depan rumah itu. Melewatinya seperti ada kutub magnet yang menarikku kuat dan menahanku untuk tetap berdiri mematung seperti batu. 

Ya, semenjak 3 tahun kepergian suamiku. Aku jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah menengok tempat ini. Tempat dimana segala impianku melambung tinggi sekejap sirna bersamaan dengan kecelakaan maut yg menimpa Leon. Setelah menikah, kami berencana untuk membeli rumah di kawasan ini, tempat aku berdiri sekarang. 
Aku sangat menyukainya, Leon tau itu. Dan ia berjanji akan segera memboyongku ke rumah impian itu begitu kita selesai berbulan madu. Entahlah, desain rumah minimalis namun tak terkesan biasa-biasa saja ini begitu membuatku terpesona. Apalagi ada pohon kelengkeng di halamannya. Leon, ini adalah makanan kesukaanmu. Lihat betapa lebat kini berbuah. Andai saja kau masih hidup, ah andai. Tapi sudahlah, mengenangmu hanya membuat aku gagal melangkah ke depan. Kau sudah tenang di alam lain Leon. Aku berharap suatu hari ada yang menebang pohon kelengkeng ini, biar tak muncul lagi gambarang kita berdua duduk santai di bawahnya. Supaya hilang ingatanku tentangmu. Supaya tenang aku melanjutkan hidup.. 

"Sashi?!" 
"Eh, iya kak, maaf. Ayo kita berangkat..."

Ketika Hujan

Ketika hujan, kenangan sejenak menyeruak. 
Banyak hal yang tak bisa kuungkapkan bercerita dalam tiap tetesnya.

Kita selalu bisa menyelami diri masing-masing tanpa mengucapsatu patah kata pun. 
Kau dalam senyummu dan aku dalam diamku.
Banyak kehangatan dalam tiap senyum yang kau berikan.  

Satu hal yang dulu tak pernah kulihat, selalu kuabaikan. 
Hujan mengguyurnya, mengikis, dan menunjukkannya padaku seperti mutiara terpendam , dan akhirnya bersinar.

Kita tak perlu banyak alasan, karena kau lah satu-satunya alasan mengapa aku ada.
Meski mendung menyelimuti, meski kau bilang tak bisa lagi menatap matahari, tapi bagiku inilah ruang untuk kita, karena semuanya hadir, ketika hujan..

Di Bawah Pohon

Aku ingat menatapmu ketika itu
antara gerimis yang bermandi hujan percikan air dan genangannya menebar bau basah . Engkau menggigil kedinginan "Tenang," kataku, setelah ini kita akan pergi menyeduh teh di kedai ujung jalan . Engkau tersenyum aku tersipu salah tingkah : malu . Hujan tak kunjung reda 
larutlah kita dalam cerita . Aku suka menatapmu saat banyak bicara berbinar dua matamu . Kita lalu tawa bersama bercanda berdua Kapankah itu bisa kita ulang sebelum selamanya kau pergi ?

Demi Lingga

“Sudah makan sayang? Kamu terlihat lesu, tidak seperti biasanya. Aku tidak ingin kamu sakit Mau aku suapi? Atau mungkin kamu mau kuambilkan minum..” Ambar dengan suara yang masih serak mencoba merayu lelaki yang ada dihadapannya kini. Namun ia tak menghiraukan. Meski begitu Ambar tak menyerah. Segala cara dilakukan untuk menarik perhatian sang pujaan hati. Namun apa daya, Ambar seperti kekasih yang tak dianggap.

“Lingga… kamu masih marah sama aku ya? Aku minta maaf,harusnya kemarin aku nggak pergi ke Bandung untuk survey kinerja kantor disana.Ayo sayang kumohon, katakan padaku. Aku harus bagaimana biar kamu maafin aku”.Lingga tetap saja dalam diam dan tanpa menatap Ambar sama sekali. Entah sudah berapa puluh  kali putaran Ambar mengelilingi ruangan tempat mereka berada saat ini. Lingga duduk lemah di lantai dengan kepala bersandar pada dinding dibelakangnya. 

Dengan wajah kusut dan penuh peluh Ambar mencoba untuk terus mendekati Lingga,berharap Lingga berbicara meski hanya sepatah kata. Lelah yang amat sangat begitu terpancar dari sorot mata wanita berambut ikal sebahu ini. Tas masih menempel di pundaknya sedari tadi bahkan Ambar tidak menyadarinya karena pikirannya hanya tertuju pada Lingga. Ruangan ini begitu remang karena tidak satupun celah dapat ditembus oleh sinar matahari. Ambar tak sanggup menerka kemana pandangan mata Lingga tertuju. Yang ada Lingga hanya mematung.

Dalam keheningan, Ambar yang kelelahan berdiri akhirnya tertunduk. Ia menarik tangan Lingga dan menggenggamnya, mencium jemarinya dengan berderai air mata. Ia bukan tak tahu bahwa kekasihnya yang dibawanya kabur dari rumah sakit itu tak bernyawa.  Ambar hanya tak mau berpisah dengan raga Lingga. Ia belum siap menerima kenyataan bahwa Lingga telah pergi untuk selama-lamanya..

Wednesday 15 April 2015

Aku (bukan) Kartini

Kakang, barangkali sudah ke sekian kalinya aku menulis surat untukmu. Meski tak pernah kau baca. Karena aku terlalu pengecut untuk menggoreskannya di atas kertas.  Surat yang untaian katanya hanya terukir dalam malam gelap dan tetesan air mata saat aku mengadu kepadaNya.

10 Tahun lebih kita hidup bersama, dengan penuh suka cita, penuh amarah darimu dan cinta dariku. Kau dengan segala kekuranganmu selalu tampak sempurna di hadapanku. Kau istimewa karena aku cinta.

Namun, perempuan mana yang tak ingin dihargai oleh orang paling penting dalam hidupnya? Adakah sedikit ruang di sudut bibirmu untuk berucap “sayang” kepadaku? Dari pagi hingga pagi lagi, tak hentinya ku mengabdi kepadamu sebagai seorang istri. Ku abaikan gelarku hanya demi mendidik buah hati kita. Namun kau diam saja. Seperti aku tak berarti apa-apa.

Mungkin aku tak sendiri, ada banyak istri di luar sana yang merasa kurang dihargai.
Aku memang bukan Kartini, aku hanya ingin dimengerti..

*Surat ini terinspirasi dari fenomena sekitar, untuk para
suami yang tidak pernah menatap kedua mata istrinya dengan penuh cinta

Wednesday 11 March 2015

Surat Untuk Sahabat


Nur Rizka Yeniarti, aku bertemu denganmu pertama kali di tempat kos kita. Waktu itu kita sama-sama diantar oleh ayah kita masing-masing. Itu adalah masa awal kita menjabat sebagai mahasiswa di jurusan yang sama. Aku menganggap pertemuan yang disebabkan oleh kelalaian ibu kos itu, bukan sebuah kebetulan biasa. Mengapa aku sebut sebagai kelalaian? Iya, karena pada saat aku bertanya kepada ibu kos , adakah kamar kosong untukku, beliau menjawab ada, dan maksud beliau mungkin memberikan satu kamar berdua untuk kita, namun ternyata beliau lupa bahwa kau sudah ada teman sekamar.  Itu yang membuat kita terpaksa berdesakan dalam satu kamar untuk sementara waktu.

Kebetulan ? tentu saja tidak, mengingat sejauh ini banyak sekali hal yang kita lalui bersama. Kita sama-sama belajar dari pengalaman masing-masing.  Banyak hal yang kupelajari darimu, mungkin begitu juga sebaliknya.  Awalnya biasa saja, tapi seiring berjalannya waktu, aku dapat mengenal lebih dalam tentang siapa dirimu, bagaimana sikapmu, dan kau banyak bercerita tentang keluargamu, lingkunganmu, adikmu yang lucu, dan seseorang yang mengisi hatimu (bagaimana kabar kalian? Semoga baik-baik saja). Walaupun aku tidak bisa 100% mengetahui apa isi hatimu, paling tidak aku bangga bisa tertulis dalam salah satu daftar sahabatmu (semoga).

Ada beberapa hal yang ingin kusampaikan, memang tidak begitu mendesak, tapi boleh kan aku tampak serius sesekali dihadapanmu?

Entahlah aku tidak pandai berkata-kata, aku tidak tau bagaimana ekspresimu ketika membaca tulisan ini, apakah mungkin tertawa terbahak-bahak, terheran sambil mengernyitkan alis, tersenyum simpul, atau bahkan melakukan hal yang tak terduga  ,jingkrak-jingkrak sambil  berteriak (sepertinya yang ini tidak mungkin),
Mengenalmu, kuanggap sebagai salah satu anugerah dari Tuhan. Ya, karena Dia sengaja mengirimku seseorang yang mampu memahamiku, mengerti aku, menenangkan aku ketika aku bermasalah, mengeringkan air mataku hanya dengan mengelus pundakku dan berkata “semua akan baik-baik saja”, bersedia susah, dan mau merasakan kebahagiaan yang kurasakan. 

Inipun tak cukup menggambarkan betapa aku bersyukur memilikimu lebih dari seorang sahabat. Kau tak pernah bosan mendengar celotehku tentang segala sesuatu yang tak penting, mulai dari A-Z, yang mungkin orang lain belum tentu mau mendengarkannya.  Berbagai permasalahan juga kita mampu melaluinya bersama, meski itu sulit.

Aku bangga dengan cara kita peduli satu sama lain tanpa harus bertatap muka. Sama-sama saling mengerti kapan dan bagaimana kita harus muncul. Tak sedikit hal yang kadang kulakukan, dan tanpa sengaja itu menyakitimu. Lalu aku menjelaskan maksudku, dan akhirnya kita tertawa bersama karena menyadari bahwa itu hanya sebuah kesalahpahaman kecil yang lumrah terjadi. Aku lega itu hanya salah paham karena kau tau, aku sangat tidak bisa jika kamu marah atau meninggalkanku dalam diam. Kalau sudah begitu, sepanjang hari aku memutar otak, kesalahan apa yang kuperbuat padamu sampai membuatmu marah. Tapi syukurlah, semoga itu tidak pernah terjadi.

Aku ingin meminta maaf, setulus hatiku, dan aku ingin kau memaafkanku setulus hatimu. Maaf untuk waktu kita yang kadang terbuang karena kesibukanku. Maaf untuk saran yang belum bisa kuberikan padamu saat kau membutuhkannya. Maaf untuk egoku yang kadang tak bisa mengerti kondisimu dan memaksamu selalu bercerita kepadaku, maaf untuk otakku yang kadang sok tau , menebak-nebak dan menerka-nerka tentang apa yang sedang terjadi padamu, maaf untuk tutur kataku yang mungkin sangat tidak berkenan dihatimu, maaf untuk senyumku yang kadang kupaksakan  ketika kau suka terhadap sesuatu dan aku tidak mau jujur tentang hal yang tidak baik itu karena aku tidak mau kamu terluka. Selebihnya, aku minta maaf atas semuanya..

Dan terima kasih, untuk tiap detik waktu berhargamu yang kau luangkan untukku, terima kasih untuk tiap tetes air mata yang kau relakan untukku. Untuk nasehat yang kau berikan padaku dalam setiap putus asaku. Kau tau, aku terkadang terlalu percaya diri saat diminta memberikan penyelesaian orang lain mengenai masalah mereka. Namun untuk masalahku sendiri, tak jarang aku selalu berlari padamu, dan kamu yang berhasil; memecahkannya. Terima kasih untuk itu. Untuk pengorbananmu yang begitu besar demi membantuku menghadapi masalah. Untuk kepecayaanmu bercerita tentang segala sesuatu yang paling rahasia sekalipun, sungguh aku bangga. Untuk segala fenomena yang kau  kenalkan padaku. untuk warna-warna kehidupan yang kau goreskan pada kertas buramku. Untuk tokoh kartun yang kau julukkan padaku (sahabat Maruko). Untuk tiap inci perjalanan  kita, yang makin hari makin terukir hingga mencapai puluhan, ratusan , bahkan ribuan kilometer. Terima kasih untuk semuanya..yang tak bisa kupenakan satu-persatu.
Kita sama-sama tau, tidak ada yang abadi di dunia ini, namun aku ingin kau  tau,aku sungguh berharap persahabatan kita tak lekang oleh waktu..


Suatu sore yang gerimis,
2011



Hujan Semalam

Aku tak bisa menghentikan motorku yang sudah terlanjur melaju dengan kecepatan tinggi. Apa lagi mengendalikan air mata di pipiku, seperti menghujani  sepanjang jalan . Aku masih memikirkan dia, lelaki yang baru saja kutemui, lelaki yang menjadi sahabatku selama ini, lelaki kecintaanku. Beruntung , beberapa pelatihan manajemen diri pernah kuikuti selama belajar di kampus, setidaknya dapat membantuku mengontrol emosi sehingga aku tidak sembarangan menghadang jalan kendaraan lain dan nekat menghancurkan diri sendiri dalam kecelakaan lalu lintas.

Beberapa menit  yang lalu aku masih ada disana, rumah makan yang kita singgahi dulu.  Setelah kita menghabiskan siang dengan tangisku dan diammu, dengan pelukku dan belaimu, dengan cintaku dan kasihmu, semua lebur menjadi satu.  Aku dengan segala sisa harapku terus saja menanyakan kapan rencana-rencana yang telah kita buat terlaksana. Sampai kau katakan bahwa waktu kita telah habis. Ini tentu menyesakkan. Jujur aku sama sekali tak ingin menangis dihadapanmu, tapi aku tak sanggup. Aku rapuh. Aku tak rela jika kita tak bersama, tapi memang sepertinya waktu ini bukan milik kita. Semenjak kau bisikkan ditelingaku, kata-kata itu serasa menghujam jantungku.  Walaupun aku tau ini semua salahku, aku membiarkanmu masuk dalam kisah cinta yang tak mungkin  terjadi. Aku membawamu terlalu  jauh.

Seperti kelimpungan,saat melintas di depan rumah makan “serakah” (begitu dulu kita menyebutnya)  ini, seketika aku ingin berhenti sejenak, menuntaskan rinduku padamu, karena kita pernah menghabiskan waktu bersama disana. Aku menghentikan motorku, aku masuk kedalam. Aku berjalan gontai sambil menatap kosong, meja yang sama, saat kita kemari waktu itu. Tidak ada siapapun yang menempatinya. aku duduk di kursi ini lagi, di meja ini lagi. Seorang pelayan menghampiriku.  Dan aku memesan makanan padahal aku sama sekali tidak lapar, dengan pikiranku yang  masih tertuju padamu..

Aku memesan makanan yang sama, dengan yang kau pesan waktu itu, cap cay goreng, dan segelas jeruk hangat. Jelas-jelas bahwa aku alergi terhadap udang yang ada di dalamnya. Tapi tetap saja, aku tak peduli. Seperti orang gila, aku membiarkan satu kursi kosong dihadapanku, berhayal bahwa kau ada dihadapanku saat ini. Dan mungkin semua orang yang ada di sekitarku benar-benar menganggapku sudah gila.  Aku menyantap makan malamku, dan  berbincang dengan bayangmu. Aku tak peduli meski puluhan pasang mata menganggapku aneh. Aku menikmati ini, aku merasakan kau selalu ada disampingku.

Lamunanku terhenti saat aku sadar ponselku bordering, dan aku tak percaya, nomormu yang tertera disana. Kau menghubungiku.  Segera kuangkat, dengan suaraku yang masih tersengal. Aku tak mampu menahan sesak yang tiba-tiba naik ke tenggorokan begitu mendengar suaramu. Dan seperti mimpi, beberapa waktu kemudian kau muncul.. kau benar-benar hadir di hadapanku. Rasanya tak mungkin karena tadi kita sudah saling  berpamitan. Aku pikir kau sudah sibuk dengan aktifitasmu. Dan aku sengaja datang kesini sendirian tanpa tujuan selain untuk mengenangmu, mengenang kebersamaan kita.

Jujur, aku bahagia. Kau masih ada disini, disisiku. Meski aku tau ini tak kan selamanya. Tapi kali ini sungguh aku tak ingin ini berakhir. Biarlah nanti waktu yang menentukan. Dan kita kembali termenung, berkutat pada pikiran masing-masing.  Aku menahan sesak didadaku. Dan menahan dingin yang merasuk keseluruh sendi-sendi tubuhku. Kau  tau aku tak bisa bertahan dalam kondisi seperti ini, tapi demi melihat wajahmu, aku rela.

Seperti tak direstui oleh waktu, kau menyuruhku untuk segera pulang, kau tau aku masih ingin ada disini, bersamamu. Tapi kau tak lagi mengijinkan aku untuk tetap menggenggam jemarimu malam ini. ingin marah rasanya. Seketika aku berdiri, dan aku beranjak dari kursi. Aku berjalan meninggalkanmu. Langkahku semakin cepat karena aku tak sanggup jika harus melihat wajahmu . . .

Kunyalakan motorku, dan aku melaju dengan kecepatan tinggi.. dan aku tak bisa mengendalikan air mataku , yang menghujani sepanjang jalan, dan aku masih tetap memikirkanmu..

BRAAAKKKKKK!!!!!!

***

"Sebuah kecelakaan baru saja terjadi di jalan Cakrawala. Sebuah sedan hitam hilang kendali saat melintasi jalanan yang licin akibat hujan hingga akhirnya oleng dan menabrak sebuah motor. Satu orang tewas dalam kejadian ini. Sang pemgemudi motor meninggal seketika di lokasi kejadian. Korban adalah seorang perempuan dengan ciri-ciri mengenakan celana jeans abu-abu, jaket hitam dan tas ransel putih tulang menempel di punggungnya. Ia tergeletak di tengah jalan raya setelah tubuhnya terlempar dari motor yang dikendarainya. Hingga kini belum diketahui secara pasti identitas korban. Demikian sekilas warta, saya melaporkan dari lokasi kejadian, kembali ke studio, rekan Agni"

Rio termangu di tempat duduknya, suara televisi yang ada di sudut ruangan warung "serakah" mau tak mau membuatnya mendengar berita yang baru saja ditayangkan. Begitu terkejutnya Rio saat melihat layar kaca.. 

Korban meninggal dalam kecelakaan itu adalah Laras..
Masih teringat jelas tas ransel warna putih tulang bergerak naik turun saat Laras berlari meninggalkannya sesaat sebelum kecelakaan itu. Dan kini Laras benar-benar meninggalkan Rio untuk selama-lamanya...




Terlambat Rasa Ini

"Dear,kamu

Aku mungkin terlalu lancang untuk menuliskan ini semua. Yang aku sendiri tak pernah punya alasan yang tepat mengapa aku melakukannya. Sama seperti apa yang terjadi padaku.  semua gejolak yang ada dalam diriku, , begitu banyak hal yang ingin kutau tentangmu, beribu pertanyaan yang termuat dalam daftar panjang di kepalaku,namun semua  serasa sirna dalam sekejab setelah wajahmu muncul di hadapanku. Hanya dengan melihatmu pun rasanya sudah menenangkan, apalagi memilikumu (ah.. selalu)

Ya, selalu saja hal lain mengikutimu dibelakang, dimana ketika  aku berhadapan denganmu, ia seakan mendominasi dan menguasai pikirku agar aku menjauh darimu. Ia seperti penjagamu, seolah aku ini adalah makhluk buas yang berusaha menerkam mangsanya, untuk itu ia menjagamu selalu agar aku tak bisa lagi mendekatimu.

Aku , kamu, kita semua, memang tidak akan pernah tahu tentang apa yang sedang direncanakan oleh Tuhan. Semenjak pertama kali kita bertemu. Entahlah .. bisa-bisanya aku larut dalam bayangan yang entah datang dari mana, jelas ini konyol. Karena itu pertama kalinya aku melihat sesorang, dan seketika aku membayangkan bagaimana jika ia menjadi milikku nanti.

Aku sadar aku harus menolak pikiran-pikiran ini, namun kau tahu kan , perasaan tak kan pernah berbanding lurus dengan logika. Semakin aku mengingkari, rasa ini makin menjadi.. aku tahu, aku tak punya hak, bahkan mungkin untuk sekedar berharap. Jadi, bersamamu , bisa dekat denganmu saja sudah merupakan kebahagiaan tersendiri untukku.

Kadang aku iri, melihatmu bisa begitu dekat dan akrab dengan orang lain, mengapa aku tak sanggup melakukannya? Mengapa aku selalu kesulitan memulai sebuah percakapan denganmu? Yang seharusnya akan menjadi lebih mudah karena kau yang selalu kuinginkan untuk  dekat denganku. Aku tak bisa, hingga seringkali kau menyalah artikan kebisuanku. 

Tapi sudahlah.. aku mungkin tak punya cukup jawaban atas pertanyaanmu selama ini, karena menurutku tidak semua hal dalam dunia ini memerlukan alasan, termasuk cinta. Yah.. sometimes , something is better left unspoken..

Matahari, bintang putih yang berperan sebagai pusat tata surya. Bisa kau bayangkan apa yang akan terjadi jika matahari tak ada di alam ini. Tak kan ada yang bisa hidup tanpa matahari..

Dan kau, Matahari ..Kau punya kekuatan untuk terlibat atas  berbagai fenomena alam di lingkungan sekitarmu. Aku yakin banyak hal yang dapat kau lakukan dan kau berikan untuk membuat makin banyak guratan senyum di muka bumi... itu harapku..

Dan bukankah itu yang kau dambakan, menciptakan kebahagiaan untukmu sendiri, dan untuk orang-orang yang kau sayangi? Meski itu bukan aku ..tak mengapa, aku akan selalu bahagia untukmu, matahariku..
Semoga berbahagia..

Salam, Bulan.."

Tanpa sadar Tara meneteskan air mata saat tiba di kalimat terakhir dalam sepucuk surat yang ia baca dengan tangan gemetar. Anti rupanya mencintainya. Wanita yang selama ini menemani hari-harinya, yang selalu ia panggil dengan sebutan bulan, ternyata memiliki perasaan yang sama dengan dirinya. 

Tara kesal mengapa selama ini mereka berpura-pura seperti tidak terjadi apapun di antara mereka. Tidak ada salah tingkah ketika mata mereka tanpa sengaja bertukar pandang. Tidak rasa aneh seperti kupu-kupu dalam perut Anti saat mereka bertemu. Tidak ada rasa rindu membuncah ketika sehari saja tak bersua.

"Ah, kenapa baru sekarang aku menyadarinya Ti.." Tara hanya bisa tertunduk lesu, melempar wajah jauh di ujung kakinya. Tiba-tiba Tara menjadi emosi tanpa sebab, memaki dirinya sendiri, melempar apapun yang sampai pada jangkauan tangannya. Masih ada undangan berserakan di kamarnya, dan itupun tak luput dari amukan kakinya. ditendangnya tumpukan undangan pernikahan itu, pernikahan dengan nama Tara dan Cintya tercetak di sana. .