Friday 21 August 2015

Sebatang Pohon Kelengkeng

"Sas, ayo cepat. Kita tidak ada waktu lagi, acaranya akan dimulai jam 9 pagi ini!" 
Saudara perempuanku yang cerewetnya minta ampun berteriak memanggilku. Kami akan pergi menghadiri wisuda Rean, si bungsu. 

"Sashi, kamu kenapa? Ayo!" 

Aku yang sedang berjalan seketika berhenti di depan rumah itu. Melewatinya seperti ada kutub magnet yang menarikku kuat dan menahanku untuk tetap berdiri mematung seperti batu. 

Ya, semenjak 3 tahun kepergian suamiku. Aku jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah menengok tempat ini. Tempat dimana segala impianku melambung tinggi sekejap sirna bersamaan dengan kecelakaan maut yg menimpa Leon. Setelah menikah, kami berencana untuk membeli rumah di kawasan ini, tempat aku berdiri sekarang. 
Aku sangat menyukainya, Leon tau itu. Dan ia berjanji akan segera memboyongku ke rumah impian itu begitu kita selesai berbulan madu. Entahlah, desain rumah minimalis namun tak terkesan biasa-biasa saja ini begitu membuatku terpesona. Apalagi ada pohon kelengkeng di halamannya. Leon, ini adalah makanan kesukaanmu. Lihat betapa lebat kini berbuah. Andai saja kau masih hidup, ah andai. Tapi sudahlah, mengenangmu hanya membuat aku gagal melangkah ke depan. Kau sudah tenang di alam lain Leon. Aku berharap suatu hari ada yang menebang pohon kelengkeng ini, biar tak muncul lagi gambarang kita berdua duduk santai di bawahnya. Supaya hilang ingatanku tentangmu. Supaya tenang aku melanjutkan hidup.. 

"Sashi?!" 
"Eh, iya kak, maaf. Ayo kita berangkat..."

0 comments:

Post a Comment