Monday 31 August 2015

7 perempuan, 7 tahun perjalanan

Seberapa jauh pun kita melangkah, seberapa kuat pun kita mencoba menghindar, kepingan masa lalu akan dapat dengan mudah menarikkmu kembali. Entah itu dengan goresan tulisan, nada-nada yang kau dengar tanpa sengaja, atau potongan gambar yang terlintas di kepala. 

Malam ini, menjadi semacam reuni, antara jiwa-jiwa rapuh dan juga hati. Setelah sekian lama terbang seperti angin yang punya tujuan sendiri untuk berhembus kesana kemari. Malam ini kita dipertemukan kembali. Satu dari kita bercerita tentang perjalanannya dalam berkelana, Antara suka dan duka, aku hanya mampu menahan mataku yang berkaca-kaca. Seketika terlintas masa-masa penuh tawa yang pernah kita lewati bersama. Ada ruang tersisa untuk kita saling bercerita. 

Ada banyak hal yang masih tersimpan di kepala, namun rasanya terlalu sulit untuk dikata. Hanya percaya bahwa kita akan tetap saling menjaga satu sama lain. Jika satu di antara kita lelah, jangan enggan untuk melebarkan sayap dan menebar cahaya agar kita bisa senantiasa bersinar dan berpijar, bersama..


Untuk kalian, sahabat terbaikku.. 

Friday 21 August 2015

Kembali

"Ibu sudah meninggal 2 bulan yg lalu", 

Mulutmu yang terbungkam sejak 1jam kita duduk berhadapan akhirnya membuka suara, dan sontak membuatku terkejut namun tetap dalam diamku. Aku seperti tak mampu bergerak, nafasku sesak mendengar orang yg selama ini sudah kuanggap seperti ibuku sendiri telah berpulang. 

"Sakit?", 
"Iya, penyakitnya sering kambuh akhir-akhir ini. Mungkin memang sudah waktunya Tuhan memanggil. Aku tidak sanggup melihatnya terus menderita, itu lebih baik", 
"Aku...minta maaf Kris.." Kataku dengan suara tercekik. 
"Untuk apa? Kau tidak salah, tidak ada yang perlu dimaafkan"katamu. 

Entahlah aku seperti ingin berubah menjadi batu saja, aku tidak tau apa yang membuat otakku membeku. Perasaan campur aduk antara bahagia kau luangkan waktu sehingga kita bisa bertemu lagi setelah sekian lama,senang kau berbagi cerita tentang kehidupanmu sekarang, impianmu yang sedari dulu kau cita-citakan sudah tergapai, menjadi pilot sebuah maskapai penerbangan ternama, sedih mendengar kabar duka kematian ibumu, dan terlebih, aku sakit mengetahui kau sudah bukan dan tak akan bisa menjadi milikku lagi. 

Aku minta maaf, tentang keacuhanku padamu dulu, tentang bunga mawar yang kau berikan dan kuabaikan. Tentang kepergianku malam itu. Tentang semua yang tak bisa kuungkapkan hanya dalam waktu 1 jam. Tentu aku juga tak bisa dengan mudah menghapus kita dari ingatanku, tentangmu Krisna. Andai aku bisa kembali.. 

Sebatang Pohon Kelengkeng

"Sas, ayo cepat. Kita tidak ada waktu lagi, acaranya akan dimulai jam 9 pagi ini!" 
Saudara perempuanku yang cerewetnya minta ampun berteriak memanggilku. Kami akan pergi menghadiri wisuda Rean, si bungsu. 

"Sashi, kamu kenapa? Ayo!" 

Aku yang sedang berjalan seketika berhenti di depan rumah itu. Melewatinya seperti ada kutub magnet yang menarikku kuat dan menahanku untuk tetap berdiri mematung seperti batu. 

Ya, semenjak 3 tahun kepergian suamiku. Aku jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah menengok tempat ini. Tempat dimana segala impianku melambung tinggi sekejap sirna bersamaan dengan kecelakaan maut yg menimpa Leon. Setelah menikah, kami berencana untuk membeli rumah di kawasan ini, tempat aku berdiri sekarang. 
Aku sangat menyukainya, Leon tau itu. Dan ia berjanji akan segera memboyongku ke rumah impian itu begitu kita selesai berbulan madu. Entahlah, desain rumah minimalis namun tak terkesan biasa-biasa saja ini begitu membuatku terpesona. Apalagi ada pohon kelengkeng di halamannya. Leon, ini adalah makanan kesukaanmu. Lihat betapa lebat kini berbuah. Andai saja kau masih hidup, ah andai. Tapi sudahlah, mengenangmu hanya membuat aku gagal melangkah ke depan. Kau sudah tenang di alam lain Leon. Aku berharap suatu hari ada yang menebang pohon kelengkeng ini, biar tak muncul lagi gambarang kita berdua duduk santai di bawahnya. Supaya hilang ingatanku tentangmu. Supaya tenang aku melanjutkan hidup.. 

"Sashi?!" 
"Eh, iya kak, maaf. Ayo kita berangkat..."

Ketika Hujan

Ketika hujan, kenangan sejenak menyeruak. 
Banyak hal yang tak bisa kuungkapkan bercerita dalam tiap tetesnya.

Kita selalu bisa menyelami diri masing-masing tanpa mengucapsatu patah kata pun. 
Kau dalam senyummu dan aku dalam diamku.
Banyak kehangatan dalam tiap senyum yang kau berikan.  

Satu hal yang dulu tak pernah kulihat, selalu kuabaikan. 
Hujan mengguyurnya, mengikis, dan menunjukkannya padaku seperti mutiara terpendam , dan akhirnya bersinar.

Kita tak perlu banyak alasan, karena kau lah satu-satunya alasan mengapa aku ada.
Meski mendung menyelimuti, meski kau bilang tak bisa lagi menatap matahari, tapi bagiku inilah ruang untuk kita, karena semuanya hadir, ketika hujan..

Di Bawah Pohon

Aku ingat menatapmu ketika itu
antara gerimis yang bermandi hujan percikan air dan genangannya menebar bau basah . Engkau menggigil kedinginan "Tenang," kataku, setelah ini kita akan pergi menyeduh teh di kedai ujung jalan . Engkau tersenyum aku tersipu salah tingkah : malu . Hujan tak kunjung reda 
larutlah kita dalam cerita . Aku suka menatapmu saat banyak bicara berbinar dua matamu . Kita lalu tawa bersama bercanda berdua Kapankah itu bisa kita ulang sebelum selamanya kau pergi ?

Demi Lingga

“Sudah makan sayang? Kamu terlihat lesu, tidak seperti biasanya. Aku tidak ingin kamu sakit Mau aku suapi? Atau mungkin kamu mau kuambilkan minum..” Ambar dengan suara yang masih serak mencoba merayu lelaki yang ada dihadapannya kini. Namun ia tak menghiraukan. Meski begitu Ambar tak menyerah. Segala cara dilakukan untuk menarik perhatian sang pujaan hati. Namun apa daya, Ambar seperti kekasih yang tak dianggap.

“Lingga… kamu masih marah sama aku ya? Aku minta maaf,harusnya kemarin aku nggak pergi ke Bandung untuk survey kinerja kantor disana.Ayo sayang kumohon, katakan padaku. Aku harus bagaimana biar kamu maafin aku”.Lingga tetap saja dalam diam dan tanpa menatap Ambar sama sekali. Entah sudah berapa puluh  kali putaran Ambar mengelilingi ruangan tempat mereka berada saat ini. Lingga duduk lemah di lantai dengan kepala bersandar pada dinding dibelakangnya. 

Dengan wajah kusut dan penuh peluh Ambar mencoba untuk terus mendekati Lingga,berharap Lingga berbicara meski hanya sepatah kata. Lelah yang amat sangat begitu terpancar dari sorot mata wanita berambut ikal sebahu ini. Tas masih menempel di pundaknya sedari tadi bahkan Ambar tidak menyadarinya karena pikirannya hanya tertuju pada Lingga. Ruangan ini begitu remang karena tidak satupun celah dapat ditembus oleh sinar matahari. Ambar tak sanggup menerka kemana pandangan mata Lingga tertuju. Yang ada Lingga hanya mematung.

Dalam keheningan, Ambar yang kelelahan berdiri akhirnya tertunduk. Ia menarik tangan Lingga dan menggenggamnya, mencium jemarinya dengan berderai air mata. Ia bukan tak tahu bahwa kekasihnya yang dibawanya kabur dari rumah sakit itu tak bernyawa.  Ambar hanya tak mau berpisah dengan raga Lingga. Ia belum siap menerima kenyataan bahwa Lingga telah pergi untuk selama-lamanya..