Wednesday 11 March 2015

Surat Untuk Sahabat


Nur Rizka Yeniarti, aku bertemu denganmu pertama kali di tempat kos kita. Waktu itu kita sama-sama diantar oleh ayah kita masing-masing. Itu adalah masa awal kita menjabat sebagai mahasiswa di jurusan yang sama. Aku menganggap pertemuan yang disebabkan oleh kelalaian ibu kos itu, bukan sebuah kebetulan biasa. Mengapa aku sebut sebagai kelalaian? Iya, karena pada saat aku bertanya kepada ibu kos , adakah kamar kosong untukku, beliau menjawab ada, dan maksud beliau mungkin memberikan satu kamar berdua untuk kita, namun ternyata beliau lupa bahwa kau sudah ada teman sekamar.  Itu yang membuat kita terpaksa berdesakan dalam satu kamar untuk sementara waktu.

Kebetulan ? tentu saja tidak, mengingat sejauh ini banyak sekali hal yang kita lalui bersama. Kita sama-sama belajar dari pengalaman masing-masing.  Banyak hal yang kupelajari darimu, mungkin begitu juga sebaliknya.  Awalnya biasa saja, tapi seiring berjalannya waktu, aku dapat mengenal lebih dalam tentang siapa dirimu, bagaimana sikapmu, dan kau banyak bercerita tentang keluargamu, lingkunganmu, adikmu yang lucu, dan seseorang yang mengisi hatimu (bagaimana kabar kalian? Semoga baik-baik saja). Walaupun aku tidak bisa 100% mengetahui apa isi hatimu, paling tidak aku bangga bisa tertulis dalam salah satu daftar sahabatmu (semoga).

Ada beberapa hal yang ingin kusampaikan, memang tidak begitu mendesak, tapi boleh kan aku tampak serius sesekali dihadapanmu?

Entahlah aku tidak pandai berkata-kata, aku tidak tau bagaimana ekspresimu ketika membaca tulisan ini, apakah mungkin tertawa terbahak-bahak, terheran sambil mengernyitkan alis, tersenyum simpul, atau bahkan melakukan hal yang tak terduga  ,jingkrak-jingkrak sambil  berteriak (sepertinya yang ini tidak mungkin),
Mengenalmu, kuanggap sebagai salah satu anugerah dari Tuhan. Ya, karena Dia sengaja mengirimku seseorang yang mampu memahamiku, mengerti aku, menenangkan aku ketika aku bermasalah, mengeringkan air mataku hanya dengan mengelus pundakku dan berkata “semua akan baik-baik saja”, bersedia susah, dan mau merasakan kebahagiaan yang kurasakan. 

Inipun tak cukup menggambarkan betapa aku bersyukur memilikimu lebih dari seorang sahabat. Kau tak pernah bosan mendengar celotehku tentang segala sesuatu yang tak penting, mulai dari A-Z, yang mungkin orang lain belum tentu mau mendengarkannya.  Berbagai permasalahan juga kita mampu melaluinya bersama, meski itu sulit.

Aku bangga dengan cara kita peduli satu sama lain tanpa harus bertatap muka. Sama-sama saling mengerti kapan dan bagaimana kita harus muncul. Tak sedikit hal yang kadang kulakukan, dan tanpa sengaja itu menyakitimu. Lalu aku menjelaskan maksudku, dan akhirnya kita tertawa bersama karena menyadari bahwa itu hanya sebuah kesalahpahaman kecil yang lumrah terjadi. Aku lega itu hanya salah paham karena kau tau, aku sangat tidak bisa jika kamu marah atau meninggalkanku dalam diam. Kalau sudah begitu, sepanjang hari aku memutar otak, kesalahan apa yang kuperbuat padamu sampai membuatmu marah. Tapi syukurlah, semoga itu tidak pernah terjadi.

Aku ingin meminta maaf, setulus hatiku, dan aku ingin kau memaafkanku setulus hatimu. Maaf untuk waktu kita yang kadang terbuang karena kesibukanku. Maaf untuk saran yang belum bisa kuberikan padamu saat kau membutuhkannya. Maaf untuk egoku yang kadang tak bisa mengerti kondisimu dan memaksamu selalu bercerita kepadaku, maaf untuk otakku yang kadang sok tau , menebak-nebak dan menerka-nerka tentang apa yang sedang terjadi padamu, maaf untuk tutur kataku yang mungkin sangat tidak berkenan dihatimu, maaf untuk senyumku yang kadang kupaksakan  ketika kau suka terhadap sesuatu dan aku tidak mau jujur tentang hal yang tidak baik itu karena aku tidak mau kamu terluka. Selebihnya, aku minta maaf atas semuanya..

Dan terima kasih, untuk tiap detik waktu berhargamu yang kau luangkan untukku, terima kasih untuk tiap tetes air mata yang kau relakan untukku. Untuk nasehat yang kau berikan padaku dalam setiap putus asaku. Kau tau, aku terkadang terlalu percaya diri saat diminta memberikan penyelesaian orang lain mengenai masalah mereka. Namun untuk masalahku sendiri, tak jarang aku selalu berlari padamu, dan kamu yang berhasil; memecahkannya. Terima kasih untuk itu. Untuk pengorbananmu yang begitu besar demi membantuku menghadapi masalah. Untuk kepecayaanmu bercerita tentang segala sesuatu yang paling rahasia sekalipun, sungguh aku bangga. Untuk segala fenomena yang kau  kenalkan padaku. untuk warna-warna kehidupan yang kau goreskan pada kertas buramku. Untuk tokoh kartun yang kau julukkan padaku (sahabat Maruko). Untuk tiap inci perjalanan  kita, yang makin hari makin terukir hingga mencapai puluhan, ratusan , bahkan ribuan kilometer. Terima kasih untuk semuanya..yang tak bisa kupenakan satu-persatu.
Kita sama-sama tau, tidak ada yang abadi di dunia ini, namun aku ingin kau  tau,aku sungguh berharap persahabatan kita tak lekang oleh waktu..


Suatu sore yang gerimis,
2011



Hujan Semalam

Aku tak bisa menghentikan motorku yang sudah terlanjur melaju dengan kecepatan tinggi. Apa lagi mengendalikan air mata di pipiku, seperti menghujani  sepanjang jalan . Aku masih memikirkan dia, lelaki yang baru saja kutemui, lelaki yang menjadi sahabatku selama ini, lelaki kecintaanku. Beruntung , beberapa pelatihan manajemen diri pernah kuikuti selama belajar di kampus, setidaknya dapat membantuku mengontrol emosi sehingga aku tidak sembarangan menghadang jalan kendaraan lain dan nekat menghancurkan diri sendiri dalam kecelakaan lalu lintas.

Beberapa menit  yang lalu aku masih ada disana, rumah makan yang kita singgahi dulu.  Setelah kita menghabiskan siang dengan tangisku dan diammu, dengan pelukku dan belaimu, dengan cintaku dan kasihmu, semua lebur menjadi satu.  Aku dengan segala sisa harapku terus saja menanyakan kapan rencana-rencana yang telah kita buat terlaksana. Sampai kau katakan bahwa waktu kita telah habis. Ini tentu menyesakkan. Jujur aku sama sekali tak ingin menangis dihadapanmu, tapi aku tak sanggup. Aku rapuh. Aku tak rela jika kita tak bersama, tapi memang sepertinya waktu ini bukan milik kita. Semenjak kau bisikkan ditelingaku, kata-kata itu serasa menghujam jantungku.  Walaupun aku tau ini semua salahku, aku membiarkanmu masuk dalam kisah cinta yang tak mungkin  terjadi. Aku membawamu terlalu  jauh.

Seperti kelimpungan,saat melintas di depan rumah makan “serakah” (begitu dulu kita menyebutnya)  ini, seketika aku ingin berhenti sejenak, menuntaskan rinduku padamu, karena kita pernah menghabiskan waktu bersama disana. Aku menghentikan motorku, aku masuk kedalam. Aku berjalan gontai sambil menatap kosong, meja yang sama, saat kita kemari waktu itu. Tidak ada siapapun yang menempatinya. aku duduk di kursi ini lagi, di meja ini lagi. Seorang pelayan menghampiriku.  Dan aku memesan makanan padahal aku sama sekali tidak lapar, dengan pikiranku yang  masih tertuju padamu..

Aku memesan makanan yang sama, dengan yang kau pesan waktu itu, cap cay goreng, dan segelas jeruk hangat. Jelas-jelas bahwa aku alergi terhadap udang yang ada di dalamnya. Tapi tetap saja, aku tak peduli. Seperti orang gila, aku membiarkan satu kursi kosong dihadapanku, berhayal bahwa kau ada dihadapanku saat ini. Dan mungkin semua orang yang ada di sekitarku benar-benar menganggapku sudah gila.  Aku menyantap makan malamku, dan  berbincang dengan bayangmu. Aku tak peduli meski puluhan pasang mata menganggapku aneh. Aku menikmati ini, aku merasakan kau selalu ada disampingku.

Lamunanku terhenti saat aku sadar ponselku bordering, dan aku tak percaya, nomormu yang tertera disana. Kau menghubungiku.  Segera kuangkat, dengan suaraku yang masih tersengal. Aku tak mampu menahan sesak yang tiba-tiba naik ke tenggorokan begitu mendengar suaramu. Dan seperti mimpi, beberapa waktu kemudian kau muncul.. kau benar-benar hadir di hadapanku. Rasanya tak mungkin karena tadi kita sudah saling  berpamitan. Aku pikir kau sudah sibuk dengan aktifitasmu. Dan aku sengaja datang kesini sendirian tanpa tujuan selain untuk mengenangmu, mengenang kebersamaan kita.

Jujur, aku bahagia. Kau masih ada disini, disisiku. Meski aku tau ini tak kan selamanya. Tapi kali ini sungguh aku tak ingin ini berakhir. Biarlah nanti waktu yang menentukan. Dan kita kembali termenung, berkutat pada pikiran masing-masing.  Aku menahan sesak didadaku. Dan menahan dingin yang merasuk keseluruh sendi-sendi tubuhku. Kau  tau aku tak bisa bertahan dalam kondisi seperti ini, tapi demi melihat wajahmu, aku rela.

Seperti tak direstui oleh waktu, kau menyuruhku untuk segera pulang, kau tau aku masih ingin ada disini, bersamamu. Tapi kau tak lagi mengijinkan aku untuk tetap menggenggam jemarimu malam ini. ingin marah rasanya. Seketika aku berdiri, dan aku beranjak dari kursi. Aku berjalan meninggalkanmu. Langkahku semakin cepat karena aku tak sanggup jika harus melihat wajahmu . . .

Kunyalakan motorku, dan aku melaju dengan kecepatan tinggi.. dan aku tak bisa mengendalikan air mataku , yang menghujani sepanjang jalan, dan aku masih tetap memikirkanmu..

BRAAAKKKKKK!!!!!!

***

"Sebuah kecelakaan baru saja terjadi di jalan Cakrawala. Sebuah sedan hitam hilang kendali saat melintasi jalanan yang licin akibat hujan hingga akhirnya oleng dan menabrak sebuah motor. Satu orang tewas dalam kejadian ini. Sang pemgemudi motor meninggal seketika di lokasi kejadian. Korban adalah seorang perempuan dengan ciri-ciri mengenakan celana jeans abu-abu, jaket hitam dan tas ransel putih tulang menempel di punggungnya. Ia tergeletak di tengah jalan raya setelah tubuhnya terlempar dari motor yang dikendarainya. Hingga kini belum diketahui secara pasti identitas korban. Demikian sekilas warta, saya melaporkan dari lokasi kejadian, kembali ke studio, rekan Agni"

Rio termangu di tempat duduknya, suara televisi yang ada di sudut ruangan warung "serakah" mau tak mau membuatnya mendengar berita yang baru saja ditayangkan. Begitu terkejutnya Rio saat melihat layar kaca.. 

Korban meninggal dalam kecelakaan itu adalah Laras..
Masih teringat jelas tas ransel warna putih tulang bergerak naik turun saat Laras berlari meninggalkannya sesaat sebelum kecelakaan itu. Dan kini Laras benar-benar meninggalkan Rio untuk selama-lamanya...




Terlambat Rasa Ini

"Dear,kamu

Aku mungkin terlalu lancang untuk menuliskan ini semua. Yang aku sendiri tak pernah punya alasan yang tepat mengapa aku melakukannya. Sama seperti apa yang terjadi padaku.  semua gejolak yang ada dalam diriku, , begitu banyak hal yang ingin kutau tentangmu, beribu pertanyaan yang termuat dalam daftar panjang di kepalaku,namun semua  serasa sirna dalam sekejab setelah wajahmu muncul di hadapanku. Hanya dengan melihatmu pun rasanya sudah menenangkan, apalagi memilikumu (ah.. selalu)

Ya, selalu saja hal lain mengikutimu dibelakang, dimana ketika  aku berhadapan denganmu, ia seakan mendominasi dan menguasai pikirku agar aku menjauh darimu. Ia seperti penjagamu, seolah aku ini adalah makhluk buas yang berusaha menerkam mangsanya, untuk itu ia menjagamu selalu agar aku tak bisa lagi mendekatimu.

Aku , kamu, kita semua, memang tidak akan pernah tahu tentang apa yang sedang direncanakan oleh Tuhan. Semenjak pertama kali kita bertemu. Entahlah .. bisa-bisanya aku larut dalam bayangan yang entah datang dari mana, jelas ini konyol. Karena itu pertama kalinya aku melihat sesorang, dan seketika aku membayangkan bagaimana jika ia menjadi milikku nanti.

Aku sadar aku harus menolak pikiran-pikiran ini, namun kau tahu kan , perasaan tak kan pernah berbanding lurus dengan logika. Semakin aku mengingkari, rasa ini makin menjadi.. aku tahu, aku tak punya hak, bahkan mungkin untuk sekedar berharap. Jadi, bersamamu , bisa dekat denganmu saja sudah merupakan kebahagiaan tersendiri untukku.

Kadang aku iri, melihatmu bisa begitu dekat dan akrab dengan orang lain, mengapa aku tak sanggup melakukannya? Mengapa aku selalu kesulitan memulai sebuah percakapan denganmu? Yang seharusnya akan menjadi lebih mudah karena kau yang selalu kuinginkan untuk  dekat denganku. Aku tak bisa, hingga seringkali kau menyalah artikan kebisuanku. 

Tapi sudahlah.. aku mungkin tak punya cukup jawaban atas pertanyaanmu selama ini, karena menurutku tidak semua hal dalam dunia ini memerlukan alasan, termasuk cinta. Yah.. sometimes , something is better left unspoken..

Matahari, bintang putih yang berperan sebagai pusat tata surya. Bisa kau bayangkan apa yang akan terjadi jika matahari tak ada di alam ini. Tak kan ada yang bisa hidup tanpa matahari..

Dan kau, Matahari ..Kau punya kekuatan untuk terlibat atas  berbagai fenomena alam di lingkungan sekitarmu. Aku yakin banyak hal yang dapat kau lakukan dan kau berikan untuk membuat makin banyak guratan senyum di muka bumi... itu harapku..

Dan bukankah itu yang kau dambakan, menciptakan kebahagiaan untukmu sendiri, dan untuk orang-orang yang kau sayangi? Meski itu bukan aku ..tak mengapa, aku akan selalu bahagia untukmu, matahariku..
Semoga berbahagia..

Salam, Bulan.."

Tanpa sadar Tara meneteskan air mata saat tiba di kalimat terakhir dalam sepucuk surat yang ia baca dengan tangan gemetar. Anti rupanya mencintainya. Wanita yang selama ini menemani hari-harinya, yang selalu ia panggil dengan sebutan bulan, ternyata memiliki perasaan yang sama dengan dirinya. 

Tara kesal mengapa selama ini mereka berpura-pura seperti tidak terjadi apapun di antara mereka. Tidak ada salah tingkah ketika mata mereka tanpa sengaja bertukar pandang. Tidak rasa aneh seperti kupu-kupu dalam perut Anti saat mereka bertemu. Tidak ada rasa rindu membuncah ketika sehari saja tak bersua.

"Ah, kenapa baru sekarang aku menyadarinya Ti.." Tara hanya bisa tertunduk lesu, melempar wajah jauh di ujung kakinya. Tiba-tiba Tara menjadi emosi tanpa sebab, memaki dirinya sendiri, melempar apapun yang sampai pada jangkauan tangannya. Masih ada undangan berserakan di kamarnya, dan itupun tak luput dari amukan kakinya. ditendangnya tumpukan undangan pernikahan itu, pernikahan dengan nama Tara dan Cintya tercetak di sana. .