Wednesday 11 March 2015

Terlambat Rasa Ini

"Dear,kamu

Aku mungkin terlalu lancang untuk menuliskan ini semua. Yang aku sendiri tak pernah punya alasan yang tepat mengapa aku melakukannya. Sama seperti apa yang terjadi padaku.  semua gejolak yang ada dalam diriku, , begitu banyak hal yang ingin kutau tentangmu, beribu pertanyaan yang termuat dalam daftar panjang di kepalaku,namun semua  serasa sirna dalam sekejab setelah wajahmu muncul di hadapanku. Hanya dengan melihatmu pun rasanya sudah menenangkan, apalagi memilikumu (ah.. selalu)

Ya, selalu saja hal lain mengikutimu dibelakang, dimana ketika  aku berhadapan denganmu, ia seakan mendominasi dan menguasai pikirku agar aku menjauh darimu. Ia seperti penjagamu, seolah aku ini adalah makhluk buas yang berusaha menerkam mangsanya, untuk itu ia menjagamu selalu agar aku tak bisa lagi mendekatimu.

Aku , kamu, kita semua, memang tidak akan pernah tahu tentang apa yang sedang direncanakan oleh Tuhan. Semenjak pertama kali kita bertemu. Entahlah .. bisa-bisanya aku larut dalam bayangan yang entah datang dari mana, jelas ini konyol. Karena itu pertama kalinya aku melihat sesorang, dan seketika aku membayangkan bagaimana jika ia menjadi milikku nanti.

Aku sadar aku harus menolak pikiran-pikiran ini, namun kau tahu kan , perasaan tak kan pernah berbanding lurus dengan logika. Semakin aku mengingkari, rasa ini makin menjadi.. aku tahu, aku tak punya hak, bahkan mungkin untuk sekedar berharap. Jadi, bersamamu , bisa dekat denganmu saja sudah merupakan kebahagiaan tersendiri untukku.

Kadang aku iri, melihatmu bisa begitu dekat dan akrab dengan orang lain, mengapa aku tak sanggup melakukannya? Mengapa aku selalu kesulitan memulai sebuah percakapan denganmu? Yang seharusnya akan menjadi lebih mudah karena kau yang selalu kuinginkan untuk  dekat denganku. Aku tak bisa, hingga seringkali kau menyalah artikan kebisuanku. 

Tapi sudahlah.. aku mungkin tak punya cukup jawaban atas pertanyaanmu selama ini, karena menurutku tidak semua hal dalam dunia ini memerlukan alasan, termasuk cinta. Yah.. sometimes , something is better left unspoken..

Matahari, bintang putih yang berperan sebagai pusat tata surya. Bisa kau bayangkan apa yang akan terjadi jika matahari tak ada di alam ini. Tak kan ada yang bisa hidup tanpa matahari..

Dan kau, Matahari ..Kau punya kekuatan untuk terlibat atas  berbagai fenomena alam di lingkungan sekitarmu. Aku yakin banyak hal yang dapat kau lakukan dan kau berikan untuk membuat makin banyak guratan senyum di muka bumi... itu harapku..

Dan bukankah itu yang kau dambakan, menciptakan kebahagiaan untukmu sendiri, dan untuk orang-orang yang kau sayangi? Meski itu bukan aku ..tak mengapa, aku akan selalu bahagia untukmu, matahariku..
Semoga berbahagia..

Salam, Bulan.."

Tanpa sadar Tara meneteskan air mata saat tiba di kalimat terakhir dalam sepucuk surat yang ia baca dengan tangan gemetar. Anti rupanya mencintainya. Wanita yang selama ini menemani hari-harinya, yang selalu ia panggil dengan sebutan bulan, ternyata memiliki perasaan yang sama dengan dirinya. 

Tara kesal mengapa selama ini mereka berpura-pura seperti tidak terjadi apapun di antara mereka. Tidak ada salah tingkah ketika mata mereka tanpa sengaja bertukar pandang. Tidak rasa aneh seperti kupu-kupu dalam perut Anti saat mereka bertemu. Tidak ada rasa rindu membuncah ketika sehari saja tak bersua.

"Ah, kenapa baru sekarang aku menyadarinya Ti.." Tara hanya bisa tertunduk lesu, melempar wajah jauh di ujung kakinya. Tiba-tiba Tara menjadi emosi tanpa sebab, memaki dirinya sendiri, melempar apapun yang sampai pada jangkauan tangannya. Masih ada undangan berserakan di kamarnya, dan itupun tak luput dari amukan kakinya. ditendangnya tumpukan undangan pernikahan itu, pernikahan dengan nama Tara dan Cintya tercetak di sana. .

0 comments:

Post a Comment